Aku kangen mama

Pagi ini, ketika aku mendengarkan lagunya Maher Zain yang berjudul “You went so soon” (kau pergi terlalu cepat” tiba-tiba dadaku sesak, airmataku mulai bercucuran karena aku teringat ayahku. Mama, begitu aku memanggilnya, seperti kebanyakan orang pantura memanggil ayah mereka. Lagu itu berhasil mengobrak-abrik emosi di hatiku, memecah bendungan air mataku dan membuka sejuta kenanganku bersamanya.

Rasanya begitu cepat mama pergi meninggalkanku, meninggalkan kami semuanya. Sehingga tidak sempat aku berterima kasih banyak kepadanya. Aku berterima kasih atas kedisiplinan yang beliau terapkan kepadaku, ternyata kusadari manfaatnya sekarang-sekarang. Aku ingin berterima kasih karena mempertahankan sekolah formalku dulu ketika aku memutuskan untuk sekolah agama saja; tentu aku tidak bisa menjadi seperti sekarang ini kalau keputusanku waktu itu diiyakan begitu saja. Aku ingin juga berterima kasih bahwa dulu, pendidikanku menjadi prioritas pertama diatas segalanya; belakangan baru aku ketahui itu semua.
Mama, dulu aku sering bertanya-tanya, mengapa engkau jarang sekali mengunjungi aku di pesantren. Sempat juga aku marah karena itu, tidak seperti teman-temanku yang lain, yang bahkan pulang pun mereka dijemput satu keluarga. Belakangan akupun tahu jawabannya. Ibu bercerita bahwa ongkos yang dipakai untuk mengunjungiku lebih baik disimpan untuk keperluan bulananku di pesantren. Akupun tahu bahwa engkau sebenarnya sangat ingin sering-sering mengunjungiku, tetapi keberlangsungan pendidikanku lebih utama daripada itu.
Mama, sebenarnya engkau mempunyai cukup alasan untuk tidak menyekolahkanku karena engkau sendiri sebenarnya tidak sempat menyeleseikan sekolah dasar sekalipun. Aku sangat beruntung karena kau memilih berjuang untuk pendidikanku. Tidak aneh jika orangtuanya sekolah kemudian mengharapkan anaknya sekolah, tapi menurutku cukup spesial jika orangtuanya tidak lulus SD tapi ingin anaknya lulus sarjana, paling tidak.  Dulu mungkin aku menganggapnya biasa, belakangan aku mengetahuinya bahwa itu hal yang luar biasa.
Mama, aku kangen…
Aku masih sesenggukan ketika aku tuliskan ini semua. Airmataku terus keluar sehingga aku harus berhenti berkali-kali untuk mengelapnya dengan kain tisu. Aku juga harus bolak-balik kamar mandi karena dahak juga ikut-ikutan keluar ketika aku menangis. Kembali aku menangis dengan keras ketika aku ingat saat engkau sedang sakit keras sebelum Allah memanggilmu. Ibu meminta ijin untuk mengambil tabungan sekolah adikku yang tadinya mau dipakai untuk biaya pengobatan mama. Mamapun menolaknya. Baik Ibu maupun aku menjadi sangat terharu ketika kami mendengarkan alasan penolakan itu. Mama bilang, “itu untuk sekolahnya Ipad (adikku yang paling kecil). Aku tidak kuat melanjutkan menulis…
Seandainya mama masih ada, aku sangat ingin memeluknya beberapa kali. Aku kangen dipeluknya ketika aku masih kecil. Dan aku masih sangat hafal dengan bau-nya. Dulu aku sering digendong,  diplunggu (digendong lebih tinggi, diatas pundaknya).
Seandainya mama masih ada, aku sangat ingin merasakan keakraban dengannya sebagai teman. Kedekatan sebagai teman pasti akan membuatnya lebih seru lagi karena mama sangat suka berdiskusi.  Beliau juga suka melihat berita mancanegara setiap jam 9 malam di stasiun TVRI, satu-satunya stasiun yang kami punya waktu itu. Aku sangat ingin berdiskusi banyak hal dengannya. Aku juga ingin bercerita bagaimana aku melihat negara-negara barat yang aku yakin mama sangat tahu dari berita-berita mancanegara yang selalu Ia tonton setiap malam.
Mama, kau begitu cepat pergi. Tahukah engkau bahwa sebentar lagi kau akan mempunyai cucu dariku. Sebenarnya aku ingin melihat kau mengajak bermain anakku seperti kau mengajakku bermain dulu. Sebenarnya, aku juga ingin meminta saran nama untuknya.
Tulisan ini adalah tulisan spontan yang menurutku sangat berharga karena telah mendokumentasikan perasaanku saat ini. Aku tahu kesedihan ini tidak boleh berlangsung lama, hidup harus kembali dilanjutkan seperti biasanya, tetapi ijinkan aku merindukan mama-ku saat ini. Semoga mama juga dapat merasakannya disana.
Tulisan ini juga memberi pelajaran kepada siapapun untuk mencintai dan menyayangi orangtuanya selagi ada. Orang tua kita memberikan apapun yang terbaik untuk anaknya. Seringkali mereka menjadi lilin yang berhasil memberi penerangan untuk sekelilingnya tetapi mereka sendiri meleleh dan habis.
Untuk mama, kami semua merindukanmu. Allohummaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi, wa’fuanhu. Amiin.
Untuk Mih (panggilan untuk ibuku), kita akan terus bersama-sama melanjutkan hidup dengan bahagia. Kita memang tidak memiliki mama lagi sekarang, tetapi kita memiliki satu sama lain. Kita akan menghiasi hidup kita dengan mimpi-mimpi (yang mungkin atau tidak mungkin) yang membawa hidup kita lebih bergairah. Selama hayat masih dikandung badan, kita harus selalu mempunyai mimpi. Karena semua pencapaian berawal dari mimpi. Kita mungkin menyebut keluarga kita adalah keluarga pemimpi.
Jl. Imogiri, 8 Februari 2015
Idham Badruzaman

Comments

Popular posts from this blog

Legalisir Ijazah di DIKTI, Kemenkumham, dan Kemenlu

Menapaki Sulawesi

Anakku menangis dan menjerit setiap malam