Menapaki Sulawesi

Aku tidak pernah menyangka kalau suatu hari nanti aku berkesempatan menginjakkan kaki di tanah Sulawesi. Namun ternyata hari ini aku telah melihat dua jembatan kembar Sultan Hasanudin menjulang tinggi yang berada di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Jembatan ini disebut kembar karena memang terdapat dua jembatan sejenis yang dipakai untuk satu arah laju kendaraan pada masing-masingnya. Menurut cerita seorang teman yang baru saja kukenal disini, jembatan ini merupakan hadiah dari pemerintah Malaysia sewaktu berkunjung ke Gowa yang diterima oleh Wakil Presiden RI, Yusuf Kalla.

Perjalananku ke salah satu pulau terbesar di Indonesia ini tidak ingin berlalu begitu saja. Aku ingin mengabadikannya dengan menulis. Agar nanti aku bisa kembali bernostalgia dengan tulisan yang pernah kubuat ini, sekaligus bisa berbagi dengan teman-teman yang lain ataupun malah anakku sendiri nanti yang akan mengamati dan mencermati ekspresi dan perasaan ayahnya ketika berpetualang diwaktu mudanya.

Tangan kananku menarik tas roda mini dan tangan kiriku membawa kado bingkisan buat temanku, mas Adi yang menikah diusianya yang ke 22. Adi merupakan ketua harian pengurus Bina Antar Budaya chapter Jogja masa bakti 2006 – 2008. Sementara aku adalah pengurus sendingnya. Keberadaan kami di kepengurusan chapter menjelaskan kenapa aku bisa sampai disini. Aku mewakili teman-teman pengurus lainnya menghadiri pesta pernikahan mas Adi di Makassar. Karena aku datang atas nama pengurus, maka akupun di beri subsidi secukupnya untuk keberangkatanku ke Pulau yang berbentuk huruf K ini. Walaupun harus meninggalkan aktifitasku yang bejibun termasuk aktifitas wajibku menghadiri kelas kuliah, tapi pesona Pulau Sulawesi lebih menggoda menjadi santapan cakrawala yang sayang kalau dilewatkan.
Kedatanganku ke Makassar ternyata tidak kalah terkesan dibanding dengan rantauanku ke Amerika pada pertama kalinya. Baru saja sebentar aku berada di bandara Sultan Hasanudin Makassar, aku sudah terkena roaming bahasa. Speaker pengumuman yang berbunyi, celoteh para petugas bandara, serta orang-orang sekelilingku menggunakan bahasa dengan nada yang ditarik-tarik. Walaupun diantara mereka menggunakan bahasa Indonesia, tapi tetap sulit kumengerti karena perbedaan nada. Lebih-lebih ketika aku sampai pada rumah mas Adi, aku terkena roaming bahasa total. Semua orang menggunakan bahasa daerahnya. Bahasa yang jauh dari bahasaku dengan nada yang jauh pula dari nada bahasaku. Walaupun begitu, aku ingin menambah pundi-pundi ilmu pengetahuanku dengan apapun yang bisa kudapatkan. Aku belajar bahasa Makassar. Inilah petikan pelajaran yang sudah aku pelajari.

Aku : Mau ki kamana?
Ibu Mas Adi : Ke Sekolah Ka
Aku : apa nu pare? (lagi ngapain / lagi buat apa?)
Arul : Mopo-mopo (duduk-duduk)
Aku : Kita mau nemenin nakke jalan-jalan kah? (Kamu mau nemenin aku jalan-jalan?)
Inul : Iye’ (Iya)
Mila : Aku ini pintar bernyanyi (dalam bahasa makassar)
Marwan : Pintar menyanyi di sawah dengan katak-katak yang lain (dalam bahasa makassar)
Mila : Ah kamu sirik aja wan (dalam bahasa makassar)
Marwan : Lagian kamu muji diri sendiri (dalam bahasa makassar)
Aku : Cukup na’ (Cukup dech!)
Muti : Aduh perutku sakit
Aku : Kenapa ki?
Kiki : Mungkin pengen mampir ke Baso Gegere (Gegere artinya rewel, pemilik baso ini berasal dari Solo)

Pengucapan dan penggunaan bahasa yang salah yang pernah aku coba:
Tubi di’ seharusnya tabe di’ atau mari ki di’ artinya permisi atau dalam bahasa jawa nyuwun sewu.
Ketika naik angkot (di Makassar Angkot dikenal dengan sebutan pe te – pe te) saya menanyakan Yuli berapa ongkos naik angkot. Lalu saya coba bertanya dengan bahasa makassar:
Berapa ki?
Kontan temenku tertawa terbahak-bahak karena kata yang baru saja kuucapkan itu mempunyai arti “berapa kamu?” untung saja temanku yang aku ajak bicara. Coba kalau orang lain, bisa digampar aku habis-habisan J
Selain bahasa, aku juga mengamati acara-acara pernikahan adat Makassar. Berikut rangkaian acara pernikahan yang berhasil aku dapatkan dari wawancaraku bersama mas Adi.
  1. Pau-pau : Pau-pau adalah kunjungan pertama kalinya orang tua putra ke orang tua putri untuk membicarakan perihal putra-putrinya yang ingin segera berlanjut ke pintu pernikahan.
  2. Assuroh : Assuroh adalah kunjungan lamaran oleh orang tua putra ke orang tua putri.
  3. Pana’e Bunting ke Putri
a. antaran erang-erang (mahar, sandang)
b. antaran bunting matigil untuk prosesi ijab kabul.
  1. Pesta di Putri (orang tua putra gak ikut)
  2. Lekka mengantarkan kedua mempelai ke rumah putra (orang tua putri gak ada yang ikut)
  3. Pesta di Putra
  4. Kunjungan Orang tua putra dengan kedua mempelai ke orang tua putri untuk meminta izin.

Kamis malam sekitar jam 10.45 aku pun bertolak ke Jakarta. Pesawat Air Asia dengan Airbus terbarunya membawaku pergi meninggalkan Makassar. Terhampar luas perairan Indonesia terlihat begitu gagah dari angkasa. Aku memuji Tuhan yang maha kuasa atas rahmat yang diberikan-Nya kepada Indonesia, atas rahmat teknologi manusia yang telah diberikan-Nya sehingga manusia dapat dengan sempurna mengamati dan menyadari kebesaran-Nya.
Selamat tinggal Makassar ...
Selamat tinggal teman-teman baru yang menyenangkan ...
Aku kan kembali menapaki Sulawesi suatu saat nanti ...

Comments

Popular posts from this blog

Legalisir Ijazah di DIKTI, Kemenkumham, dan Kemenlu

Anakku menangis dan menjerit setiap malam