Berceritalah

 Sebelumnya aku merasa tidak yakin akan menyeleseikan tesisku di bulan Juni. Saat itu sudah masuk awal bulan Mei saat hatiku gamang dan sangat tidak yakin akan selesai di bulan Juni. Aku sudah pasrah, merelakan untuk menunggu lebih lama lagi kepulangan ke tanah air jika akhirnya harus selesai di bulan September. Aku harus rela menunda menikmati nasi padang panas dengan rendang dagingnya serta tidak lupa kerupuk yang wajib menyertai.

Pada awal Mei, aku baru saja menyeleseikan bab I-ku. Seperti biasa aku sangat senang dan bangga akan setiap prestasi atau pencapaian yang berhasil dengan usaha yang terbaik. Bentuk kebanggaan itu biasanya dengan bernyanyi-nyanyi dan juga menceritakannya kepada teman-teman. Bisa dibilang ‘riya’ tetapi aku merasa hal tersebut sangat positif menunjang dan menyemangatiku untuk melanjutkan pencapaian-pencapaian selanjutnya.

Sore itu, kebetulan seorang teman berulang tahun, dan kami semua diundang ke pesta ulang tahunnya. Merasa bahwa pencapaian bab I telah selesai, maka tidak ada salahnya ikut menghadiri pesta ulang tahun teman, itung-itung untuk refreshing setelah beberapa hari menghadap komputer dan sangat minimalis keluar rumah kalau memang tidak mendesak seperti membeli kebutuhan logistik.

Tidak seperti biasanya yang kami membawa makanan atau snack khas Indonesia, sore itu kami hanya membawa minuman dingin Nestea. Sudah menjadi kebiasaan disini, jika ada pesta ulang tahun atau sekedar kumpul-kumpul, masing-masing yang datang dengan sukarela membawa sesuatu untuk dibagi bersama. Citra dan saya biasanya membawa pisang goreng atau bakwan yang selalu menjadi andalan. Disamping karena makanan ini unik buat mereka, juga harga pembuatannya relatif lebih murah. Bisa dibilang murah meriah begitu.

Sore itu, kebanggaanku menceritakan pencapaian menyeleseikan bab I sampai kepada seorang senior bernama Nantisara. Dia satu angkatan dengan senior saya, Mas Arie Paksi yang sudah lebih dulu lulus tahun kemarin. Nantisara juga sudah lulus, tetapi rupanya Ia sangat kerasan tinggal di Castellon-Spanyol. Alih-alih pulang kampung ke Thailand, Ia memilih tinggal di sini sambil bekerja sebagai guru bahasa Inggris.

Obrolanku dengan Nantisara bisa dibilang menjadi titik penting keberhasilanku menyeleseikan thesis di bulan Juni. Ia bercerita bahwa meskipun nantinya pendaftaran terakhir itu tanggal 16 Juni 2014, tetapi aku masih punya waktu untuk memperbaikinya sampai sekitar tanggal 23-an, karena tanggal 26 aku harus mempersiapkan tiga jilid tesis untuk diberikan kepada dosen penguji dan tidak cukup satu hari untuk mencetak tiga buah jilid tesis.

Aku betul-betul terinspirasi setelah obrolan dengan Nantisara malam itu, karena ternyata untuk bisa selesei di bulan Juni itu masih logis untuk diperjuangkan. Aku pun memberikan jadwal yang ketat terhadap diriku sendiri. Aku bangun shubuh, dan langsung mengerjakan selesei menyeleseikan sholat. Aku hanya beristirahat setiap kali sholat dan makan, tetapi sesekali juga istirahat sekedar memandang ke jendela atau olah raga ringan supaya tidak terlalu bosan dan lelah. Malam hari, aku juga disiplin untuk tidak tidak terlalu malam agar besok paginya dapat bangun tepat waktu untuk sholat shubuh dan yang paling penting, tidak mengantuk setelah sholat shubuh.

Hari-hari itu berjalan sangat intensif sampai Bab II pun terlewati. Kukirimkan ke dosen pembimbingku atau biasa disebut supervisor bab II-nya sambil aku terus melaju ke bab berikutnya. Tidak pernah aku merasakan bekerja seenerjik itu saat ingin mengejar sidang thesis dibulan Juli. Memang kekuatan ‘batas waktu’ atau deadline itu luar biasa. Akupun menjadi bekerja keras karenanya.

Hari-hari intensif juga memudahkan fokus pengerjaan menjadi mudah karena terisolasi dari pikirian-pikiran lainnya. Yang biasanya aku sempatkan membaca berita-berita tentang Indonesia di www.detik.comwww.kompas.comwww.thejakartapost.com dan www.tempo.co.id kini semuanya absen sementara. Pikiranku semuanya untuk tesis terlebih dahulu untuk beberapa hari itu. Dan semuanya membuahkan hasil yang menggembirakan. Aku dapat menyeleseikannya sebelum batas terakhir pendaftaran pada tanggal 16 Juni 2014.

Revisi terakhir yang diberikan pembimbingku juga tiga hari sebelum batas penutupan pendaftaran. Artinya, aku sebenarnya tidak perlu untuk melakukan revisi ulang setelah pendaftaran yang sebelumnya kurencanakan akan kumanfaatkan untuk itu. Tetapi barangkali akan aku gunakan untuk mengecek penulisan aksara dan akan kubaca-baca lagi sebelum nantinya diprint dan diserahkan ke tiga dosen pengujiku tanggal 26 Juni 2014.

Dr. Irene Comins Mingol, wanita keturunan asli Spanyol ini yang membimbingku dalam penulisan tesis dari awal sampai masa-masa mendekati deadline. Ia telah bekerja dengan sangat baik dan mendukung penelitian tesisku dari konten dan teknis. Ketika Ia memberi masukan tentang teknis penulisan, tidak ada sedikitpun kesan merendahkan sama sekali dari seorang dosen yang telah menuliskan banyak buku ini. Aku kira, aku banyak belajar untuk tidak sama sekali merasa rendah diri ataupun merendahkan orang lain untuk ilmu dasar yang sekiranya perlu disampaikan. Selain Irene, dosen metodologi penelitianku sekalipun yang merupakan profesor dan duta besar West Sahara untuk Uni Eropa tidak pernah merasa malu untuk menyampaikan hal-hal yang remeh temeh dalam penulisan dan penelitian.

Selain itu, pelajaran yang ingin aku bagikan dalam tulisan ini juga adalah bagaimana kesempatan itu datang ketika membuka diri. Aku barangkali akan tetap tidak yakin dapat menyeleseikan tesis ku di bulan Juni jika saat itu aku tidak bercerita ke beberapa teman termasuk Nantisara. Bahkan aku akan benar-benar menyeleseikannya bulan September karena ketidakyakinanku saat itu. Tapi obrolan itu mengubah segalanya.

Hal ini juga senada dengan pencapaian yang lain. Misalnya ketika aku diterima pada tahap satu beasiswa ke luar negeri. Meskipun belum pasti berangkat, aku memilih untuk bangga dan menceritakannya kepada orang lain. Satu, aku menjadi semakin termotivasi dan dua barangkali aku akan mendapatkan kesempatan lain yang mendukungku dalam persiapan menuju seleksi berikutnya. Sama seperti kasusku yang menceritakan pencapaianku ke Nantisara dan kemudian membawaku pada semangat dan keyakinan luar biasa karena mengetahui bahwa menyeleseikan tesis pada bulan Juni ternyata hal yang logis untuk dicapai.

Lantas, orang bertanya, bagaimana jika gagal? Buatku, kegagalan juga aku ceritakan kepada teman-teman bahwa aku gagal. Kita tidak perlu malu bahwa kita gagal, karena ketakutan dan malu itu sebenarnya hanya perasaan kita semata. Orang lain tidak akan membawanya sejauh diri kita membawanya dalam pikiran dan hati kita. Disisi lain, kita juga menjadi terbiasa untuk mendapati kegagalan entah diketahui orang ataupun tidak. Kita akan menjadi manusia yang tahan banting dan pantang menyerah.

Comments

Popular posts from this blog

Legalisir Ijazah di DIKTI, Kemenkumham, dan Kemenlu

Menapaki Sulawesi

Anakku menangis dan menjerit setiap malam