El Festival de La Paella


Aku bergetar melihat sebuah panci berukuran mini berisi daging babi dan ayam yang sebentar lagi akan kumakan. Julio (dibaca Hulio) tengah asyik mengorak-arik campuran daging dalam wajan tersebut. Aku tersentak kaget ketika Julio mencoba berkomunikasi denganku dengan bahasa spanyolnya. Meskipun Ia berbicara cepat, akan tetapi aku terbiasa sensitif dengan menu yang satu ini, jamon (baca hamon) atau daging paha babi.

Suasana festival memasak masakan tradisional di salah satu kampung di Castellon (dibaca Casteyon) ini begitu ramai dan suka cita. Tampak setiap keluarga di lingkungan ini berpartisipasi dalam festival yang selalu diadakan setiap tahunnya. Anak-anak juga ikut andil meramaikan suasana festival dengan teriakan-teriakan bersama rombongannya. Semuanya tampak senang dan berbahagia, tidak terkecuali kakek-kakek, suami dan istri, dan anak-anak. Semua-muanya tampak senang kecuali aku yang tengah galau, perang batin antara berkompromi untuk ikut makan daging babi kali ini saja atau secara terang-terangan bilang tidak.

Elena, adalah seorang warga lokal Castellon yang diperkenalkan oleh koordinator program pasca sarjana kepada kami untuk “tandem”  atau praktek bahasa Inggris-Spanyol. Tidak semua tertarik untuk mengikuti program tandem bahasa, tetapi aku dan Kata, seorang teman dari Hungaria tertarik untuk melakukannya. Kebanyakan dari kami memilih mengambil kursus bahasa spanyol intensif setiap hari dengan membayar €100 eur selama 1 bulan. Tetapi aku memilih mengambil kelas percakapan 1 kali seminggu selama 6 bulan dengan harga yang terjangkau dan memilih tandem dengan warga lokal yang tertarik belajar bahasa Inggris. Dari sana aku kenal Elena, sampai kemudian kami diajak ikut dalam keluarganya dalam festival memasak Paella (dibaca Paeya), masakan khas Spanyol khususnya bagian Valencia.

Sejak awal, sebenarnya aku sudah sampaikan bahwa aku adalah muslim dan aku tidak minum alkohol dan makan daging babi. Akan tetapi, kenapa mereka melupakan itu. Apakah mereka tidak tahu bahwa selain aku tidak makan daging babi, aku juga tidak makan daging ayam halal yang dicampur dengan satu masakan dengan daging babi. Ada banyak pertanyaan di kepalaku, ada perang yang maha dahsyat dalam hatiku. Apakah aku akan mengecewakannya jika harus berterus terang dan tidak makan sama sekali. Sungguh tidak semudah yang dibayangkan, khususnya bagiku yang kental dengan budaya Asia. Aku tidak ingin mengecewakan Bapak dan Ibu Elena yang dengan rela menambahkan menu ayam dalam paella nya.

Angin berhembus kencang, kencang sekali. Gelas dan piring yang terbuat dari plastik beterbangan kesana kemari, terbang dari meja-meja setiap kelompok keluarga, tidak terkecuali kelompok kami, kelompok keluarga Elana. Aku merapatkan kedua kakiku dan mengencangkan jaketku sambil mendekapkan kedua tanganku ke tubuhku karena dingin, dingin yang luar biasa. Suasana dingin dan angin kencang benar-benar menggambarkan suasana hatiku yang tengah galau, galau antara keyakinan dan perasaan. Keduanya jelas memiliki peranan penting dalam jiwaku, dalam stabilitas kehidupanku, dalam jiwa dan ragaku.

Waktu sholat dhuhur telah tiba. Aku beranjak dari tempat dudukku sambil tetap mengencangkan jaketku dan mendekapkan kedua tanganku menuju Elena. Aku memintanya untuk memberi tempat sholat barang lima menit saja di rumahnya. Elena tidak berkebaratan, dan langsung menuntunku ke sebuah kamar tamu. Akupun mencoba untuk khusuk dalam sholatku, dan aku meminta-Nya untuk memberi jalan keluar atas kesulitan yang tengah kuhadapi. Aku berlama-lama dalam sujudku, mencoba berkomunikasi dengan-Nya, memohon petunjuk agar aku bisa keluar dari situasi yang menurutku amat genting ini. Allohumma yassir umuurona … (Ya Allah, mudahkanlah urusanku..)

Selesai sholat, setelah aku berdzikir sebentar dan kembali berdo´a sebagai penutup ibadahku saat itu, aku seperti mempunyai kekuatan. Kekuatan untuk berterus terang kepada Elena. Aku berjanji akan sangat berhati-hati menjelaskan segalanya kepadanya. Aku jadi ingat bahwa orang barat cenderung terus terang dengan segala hal. Ini mungkin hanya perasaanku saja sebagai orang Indonesia, perasaan takut mengecewakan rencananya. Aku yakin Elena dan keluarga akan sangat mengerti. Aku akan bilang bahwa aku cukup makan snack, teh, dan makanan penutupnya saja agar mereka tidak merasa tidak enak.

“Elena, yo tengo una pregunta” tanyaku. (Aku punya pertanyaan)
“Vale, ¿QuĂ© es eso?” Jawabnya dengan kembali bertanya. (Oke, apa itu?)

Kemudian aku mengutarakan semuanya, menjelaskan bahwa dengan sangat terpaksa, aku tidak bisa makan paella ayam yang dicampur dengan daging babi. Berkali-kali aku meminta maaf karena mengecewakannya dan keluarganya. Aku juga memohon supaya hal ini tidak membuat aku tidak bisa meneruskan praktek bahasa spanyol dengannya den keluarganya. Semuanya kusampaikan dengan mimik yang pas dan ekspresi penuh bersalah. Elena diam saja, aku sudah mulai khawatir dengan reaksinya. Elena masih diam, aku semakin khawatir. Kemudian tiba-tiba saja dia tertawa terbahak-bahak didepanku. Aku tidak mengerti. Dia memintaku menunggunya dengan bahasa isyarat tangannya karena mulutnya masih sibuk dengan tawa yang terpingkal-pingkal. Kemudian dia mengajakku masuk ke dalam rumahnya, dan menuju ke dapur. Kemudian dia menunjuk panci berukuran sedang yang tertutup. “Idham! that´s yours”. Alamak... ternyata keluarganya telah memasak masakan yang berbeda untukku. Seketika itu juga aku bisa bernafas lega, langit tidak jadi runtuh, angin kencang berhenti seketika. Aku tidak jadi makan daging babi, aku jadi makan makanan khas valencia dengan tenang.

Waktu menunjukkan jam 3 sore. kelompok kami mendapatkan peringkat empat dari 18 peserta yang ada. Namun sepertinya kemenangan bukan menjadi tujuan dari setiap kelompok keluarga yang berpartisipasi. Kebersamaan antar keluarga dan kampung ini menjadi tujuan diadakannya lomba ini. Semua keluarga berkumpul dalam mejanya masing-masing. Semua terlihat senang menyantap paella nya masing-masing bersama keluarga terdekat mereka. Semuanya senang, tidak terkecuali aku. Aku yang seorang diri merantau jauh dari istri, keluarga, dan ibu pertiwi Indonesia merasa menemukan keluarga baru di perantauan. Aku seperti tidak bisa hidup tanpa keluarga. Aku punya banyak keluarga di banyak tempat. Aku punya keluarga di Karawang, keluarga yang melahirkanku dan membesarkanku. Aku punya keluarga di Balikpapan, kudapatkan ketika aku mempersunting gadis pilihanku. Aku punya keluarga di Yogyakarta, kudapatkan ketika nyantri di pondok pesantren krapyak yogyakarta, juga ketika menjadi bagian dari Biro Kerjasama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Aku punya keluarga di Amerika, kudapatkan ketika menjadi siswa pertukaran pelajar selama 1 tahun. Dan sekarang baru saja aku mendapatkan keluarga baru di Spanyol. I am a resident of the world.

Comments

Popular posts from this blog

Legalisir Ijazah di DIKTI, Kemenkumham, dan Kemenlu

Menapaki Sulawesi

Anakku menangis dan menjerit setiap malam