The day when my father went away

Pagi itu sekitar jam 04.00 dini hari, aku diberitahu oleh kakek sebuah berita duka tentang kepergian ayahku. “Nak, pulanglah! Ayah telah pergi” kata kakek diujung telepon sana. Aku yang sedang menyantap hidangan sahur, tiba-tiba saja tidak bisa berkata apa-apa. Selera makanku menjadi hilang begitu saja. Sementara itu, bayangan ayah saat itu seakan-akan beterbangan disekelilingku dengan berbagai gaya dan momentum sesuai dengan memori yang pernah kubuat dengannya. “Inna lillahi wainna ilaihji roji’un”

Pagi itu pun juga, bersama istriku, aku langsung sibuk mencari tiket pesawat untuk pulang dan segera menghadiri pemakaman ayah walaupun sepertinya tidak mungkin. Karena meskipun perjalanan Jogja-Jakarta hanya ditempuh dengan 55 menit saja, tapi sisa perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai ke tempatku sekitar 3-4 jam lagi, itupun jika kondisinya lancar tanpa menemui hambatan seperti macet dan sebagainya. Sehingga bagaimanapun juga, hanya itulah cara tercepat yang dapat kuambil. Selain itu, mengingat lamanya perjalanan ini, aku pun mengikhlaskan untuk tidak melihat wajah ayah untuk yang terakhir kalinya dan meminta keluarga di rumah segera melakukan pemakaman. Karena kalau yang saya tahu, menyegarakan pemakaman adalah salah satu anjuran di dalam ajaran Islam.
Sekitar 5 menit lagi sampai rumah, aku mempersiapkan diriku dan mentalku agar tidak memancing tangis ibu yang barangkali sedari pagi telah menangis dan banyak mengeluarkan air mata. Pukul 16.30 WIB, akupun sampai di depan rumahku di desa Sukatani, kec. Cilamaya Wetan, kab. Karawang. Kedatanganku langsung disambut oleh ibu dengan mata yang masih merah, kakek, nenek, paman, bibi, dan tetangga yang masih berada dirumahku. Kupeluk ibu dengan erat, dan kubisikan kata-kata ditelinganya *“La tahzan ummi, innalloha ma’ana”.

Setelah kutemui semua termasuk adikku yang paling kecil, Ihfadz Badruzaman, aku pun sengaja masuk ke kamar ayah, tempat dimana ayah mengembuskan nafas terakhirnya. Ketika kubuka pintu kamar ayah, rasa kangen yang sangat tiba-tiba datang menyelimutiku. Aku ketawa ketika ingat dulu beliau begitu rewel kepada anak-anaknya: Iam (panggilan kecilku) ayo mandi, Ias (panggilan kecil adikku yang pertama, Irhas Badruzaman) ayo makan, Ifad (panggilan kecil adikku yang terakhir) ayo ke mushola. Namun seketika itu juga, aku menjadi sedih karena omongan rewel itu tidak akan lagi terdengar olehku dan adik-adikku. Ketika aku sedang mengamati satu persatu benda yang ada di kamar ayah, aku terhenti pada tulisan spidol di lantai bertuliskan: 03.30 08 Agustus 2011. Apakah ini tulisan Ibu yang ingin mengabadikan hari kematian ayah, tapi sepertinya tidak mungkin karena tulisan ibu jauh lebih bagus dari tulisan itu. Apakah paman, kakek, atau nenek yang menuliskannya karena mereka pun berada ditempat itu ketika kejadian. Dan yang jelas, itu pasti bukan ifad karena ifad hanyalah bocah 10 tahun. Maka akupun langsung memanggil ibu dan bertanya: “Bu, yang menulis ini siapa ya?” tanyaku penasaran. “Oh itu ifad! Pagi itu juga Ia menuliskannya” jawabnya. Mendengar itu, akupun tercengang dan tidak percaya. Adikku yang baru berumur 10 tahun ini, mampu mengekpresikan rasa kehilangannya melalui tulisan ini. Aku menjadi tambah sedih karena kesedihan adikku yang ternyata merasa sangat kehilangan atas kepergian ayahnya.

Malam hari, usai tarawih, pamanku dari ayah, datang kepadaku dan bercerita tentang ayah. “Dam, tahukah kamu bahwa ayahmu telah menantikan momentum ini sejak lama” katanya serius. “Ah yang benar om? Masa begitu?” kataku tidak percaya. Ia kemudian mulai bercerita bahwa dulu paman pernah datang ke rumah selesai sholat shubuh untuk curhat seperti yang sudah-sudah. Waktu itu ayah sedang duduk-duduk santai di depan rumah ketika paman datang. “Eh Rif (Arif, nama paman) aku ini sholat tahajud sudah, sholat shubuh sudah, membaca qur’an pun sudah, sekarang saya ini sedang menunggu malaikat Ijroil” katanya. “Ah jangan bicara begitu kang!” “Eit, dengarkan dulu penjelaskanku Rif. Mati itu, ditunggu ataupun tidak, pasti dia akan datang. Menurutmu lebih baik menunggu atau ditunggu? Kalau menurutku lebih baik menunggu Rif, karena dengan menunggu kita akan senantiasa siap setiap saat.” Itulah penjelasan singkat ayah tentang mati. Itulah cerita paman yang katanya senantiasa terkenang sampai kapanpun. Paman juga bercerita bahwa dia tersenyum-senyum ketika berta’ziah dihari meninggalnya ayah lantaran mengingat cerita itu. “Sesungguhnya kang Badru telah menantikannya sejak dulu” kelakarnya. Sementara cerita yang kudapat dari saudara-sarudara yang lain, kebanyakan menyebutkan bahwa tidak ada yang selalu dikenang dari ayah selain pertanyaan yang selalu ditanyakannya kapanpun bertemu saudara: sudah sholat belum? Pertanyaan itu kini dirindukan oleh saudara-saudaranya semua.

Kini ayah telah tiada, tapi semangat kebaikan itu akan tetap ada dalam hati kami. Walaupun sampai saat ini kami masih tidak percaya akan kepergiannya, akan tetapi kami harus sadar dan segera bangkit dan meneruskan perjalanan hidup yang masih panjang. Selamat jalan ayah, kami akan senantiasa merindukanmu dan mendoakanmu. Ibu, Irhas, Ihfadz, dan aku akan baik-baik saja. Allohummaghfirlahu warhamhu wa’afiihi wa’fuanhu, amiin..

Demikian sekelumit cerita tentang saat dimana ayah pergi. Cerita ini saya persembahkan untuk orang-orang yang telah memberikan ucapan belasungkawa dan do’a untuk ayahku. Saya dan keluarga merasa dikuatkan oleh ucapan-ucapan dan do’a yang mengalir kepada kami. Terima kasih yang tak terhingga untuk orang-orang yang telah menguatkan kami, yang menyadarkan kami bahwa mereka bersama kami saat kami sedang berduka. Semoga Allah membalas do’a dan kebaikan anda semua, amiin.

14 Agustus 2011

Idham B

*Ibu, jangan bersedih, karena Allah bersama kita.

Comments

Popular posts from this blog

Legalisir Ijazah di DIKTI, Kemenkumham, dan Kemenlu

Menapaki Sulawesi

Anakku menangis dan menjerit setiap malam